Kamis, 25 Maret 2010

Padamu Ku Muarakan Kegilaan Cintaku

Aku mencoba bertanya
kepada ruh yg bersemayam dlm jiwa
mengapa kita menutup mata kala tidur?
ketika menangis? ketika membayangkan?
dan ketika mencoba merasakan?
Apakah karena cinta adalah hal terindah yg tak terlihat?

Kusyairkan kegilaan cintaku
dan ku kumandangkan kepada khalayak
bahwa cinta tak perlu di rahasiakan dihadapan wajah sang hidup
dan kurasakan ekstaseku meluap bersamamu
dalam balutan cinta sejati
ketika kita berada dlm satu pikiran dan keunikan yg sama
ketika kita merasa satu dan jatuh dlm keanehan serupa
yang disebut ; cinta..

cinta yang menggoreskan kenangan
mematri segala yang pernah terucap
memahat kisah yg terlalui
dan menyinarinya dg airmata

cinta yg mengajariku
bagaimana cara memberi bkn cara meminta
bagaimana cara memaafkan bukan cara membenci

cinta yang membuatku rela menjadi debu
disetiap jalan yang kau lalui
debu yang senantiasa menempel di kakimu
dan mengikuti kemana kau melangkah

cinta yang menyimpan hasrat menggumpal
bagai debur ombak yg bergelora tiada henti
cinta yang membiarkan mataku diberati keterjagaan
dan menemukan rasa kantuknya sendiri
hingga pagi menjelang dan tak lagi kutemukan kau disampingku
kita tak lagi bisa berpeluk dlm asa
dan kepadamu kumuarakan kegilaan cintaku.

--oemar faruq---
lien

Sabtu, 06 Maret 2010

Karna Keringku

By: Maulina hardiyanti


Orang mengatakan seperti mawar
Karena kesymbolannya
Orang mengatakan seperti melati
Karena kesakralanya
Orang mengatakan seperti sakura
Dalam seminya yang indah

Tapi aku lebih merasa sebagai edelways
Bukan karena keabadiannya
walau tidak ada pengabadiannya
Tapi karena kekeringannya

Keringnya yang membuat ia kuat
Kosongnya yang membuat ia tegar
Karna gugurnya yang tak pernah diminta orang

Paradoks
Paradoks
Dalam Fotamorgana kehampaan

Jogja,28-12-09

Tak Hanya Menjadi Diam

by: Maulina Hardiyanti Basar

Aku hanya ingin mencintaimu dalam diam
Dan aku hanya bisa mencintaimu dalam diam
Tak pernah bisa hati ini untuk mengatakannya
Karna aku cukup tau kau bukan untuk ku kagumi…..seharusnya

--continued--

Just wanna make you Proud

Just wanna make you Proud
by: Maulina Hardiyanti



I’m sorry I can’t be perfect…….

Lagu Perfect-nya Simple plan mengalun dari speaker laptopku.
Entah kenapa dari dulu banget—aku g tau sejak kapan, aku suka banget ma lagu ini. Selalu ku putar berkali-kali dalam sehari dan aku selalu ingi memutarnya setiap hari. Bukan sebuah kata pesimis dari pengakuan ketidaksempurnaan seorang anak kepada ayahnya, tapi lebih kepada kata optimis akan kebanggaan seorang anak. Seorang anak yang sedang dan selalu mengharapkan akan sosok seorang ayah.
Aku merasa di lagu itu, dimana sampai sekarang aku belum bisa memberikan apa-apa kepada sang ayah. Aku, seorang anak yang selama ini tidak bisa menjadi “jagoan” baginya. tidak bisa memberikan akan harapan yang cerah. Aku hanya seorang anak seorang anak yang hanya bisa menganggapku pahlawanku tanpa bisa menjadi prajuritnya yang patuh. Tapi satu hal yang ingin aku katakan
And now I try hard to make it I just want to make you proud,,,I never gonna be good enough for you…………I’m sorry I can’t be perfect
Nothing gonna change the things that you said
Nothing gonna make this right again
Please don’t turn your back I can belief it hard
Just to talk to you but you don’t understand………….

Jumat, 05 Maret 2010

cinta Vs Derita --Doel

CATATAN KAKI: CINTA VS. DERITA

Awalnya aku hanya iseng saja menanyakan perihal berat badan itu. Disadari atau tidak, perempuan seringkali mengalami kegemukan saat mereka stress (tidak melulu obesitas, paling tidak berat badannya naik drastis). Nah, sejak sms-sms kita waktu itu aku jadi terobsesi untuk dapat mengetahui lebih lanjut seluk beluk permasalahanmu. Bukan apa-apa, bisa dikatakan ini hanya untuk memenuhi rasa ingin tahuku saja. Tak lebih. Sebab itulah aku mengusulkan agar kita dapat bertemu. Dan ternyata bukanlah suatu hal yang mudah untuk dapat bertemu apalagi berbincang denganmu. Mungkin karena pertemuan itu tidak benar-benar kita perlukan, atau memang waktunya saja yang belum tepat.
Tulisan ini lahir tidak dimaksudkan sebagai bentuk terapi tulis apalagi untuk menggurui dirimu. Aku hanya bermaksud untuk tukar pikiran (aku tidak mau jadi neurotis gara-gara suka memendam pemikiranku!) lewat goresan-goresan kasar ini. Semoga tulisan ini dapat menginspirasimu, atau setidaknya dapat membuatmu berkerut dahi alias berfikir. Selamat membaca!.

Sejak permulaan adanya masyarakat manusia, tiap anak yang lahir ‘dipaksa’ mengenakan topeng (persona, Jung) hingga akhir hayatnya. Ini merupakan kutukan dari kelancangan nenek moyang kita yang telah memakan buah pohon pengetahuan. Bagaimanapun ilmuwan psikologi macam Adler atau Allport yang menawarkan teori kepribadian individualis, mereka tetap tak mampu menampik peran masyarakat dalam pembentukan kepribadian manusia. Kembali pada persoalan persona tadi. Sedari kita kecil – bahkan saat kita belum mengenal siapa diri kita, mungkin kamu masih ingat bagaimana orangtuamu dulu saat kamu balita mengatakan, “Ayo Suraya, coba ibu lihat mana senyumnya…..nah, cantik,” dan perkataan (perintah) lainnya semacam itu. Saat itu kita belum lagi mengenal diri, yang kita tahu bahwa apa yang kita lakukan itu dapat menggembirakan orang-orang di sekeliling kita dan itu membanggakan orangtua. Intinya, berlakulah sebagaimana yang orangtua inginkan, maka uang pujian, uang saku, juga hadiah akan kau dapat; berlakulah sebagaimana gurumu ajarkan, maka nilaimu akan bagus; berlakulah sesuai adat, maka kau akan dianggap orang yang baik; berlakulah sebagaimana akhlaq yang diajarkan guru agama, maka kau akan dianggap anak yang shaleh. Meski dengan semua itu kita seringkali mengesampingkan keinginan-keinginan kita. Apa yang baik adalah apa yang sesuai dengan perkataan orangtua, guru, teman-teman, media, buku, norma, undang-undang, dan segala macam aturan di sekelilingmu. Maka saat kita sedang bersama orangtua, kita kenakan topeng “anak yang patuh”. Topeng “siswa teladan” saat di sekolahan, topeng “teman sejati” saat bersama kawan, topeng “wanita idaman” saat bersama kekasih, dan topeng-topeng lainnya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Makin lama koleksi topeng kita semakin banyak, bahkan untuk sebuah situasi kita telah memiliki topeng cadangan – sebentuk pembelaan diri (ego diffense system)--yang dapat kita kenakan saat keadaan mendesak. Lambat laun kitapun mengalami ketergantungan akan topeng-topeng itu dan tak lagi dapat lepas darinya. Dan akhirnya topeng-topeng itu lengket, menempel, dan melebur ke dalam diri. Diri kita tak lain adalah kumpulan topeng-topeng yang kita kenakan sejak kecil.

Aku adalah topeng yang kukenakan. Kau adalah topeng yang kau hadirkan padaku.

Tatkala kau katakan telah putus dari pacarmu, entah mengapa aku langsung teringat bagaimana saat semester satu kau begitu antusias menceritakan kedatangan pacarmu dengan penuh keriangan pencinta. Senyum menghiasi segala tingkahmu. Segala hal sepertinya berbunga bagimu (kau boleh mengingat dan mengenang sejenak saat-saat itu. Teruskan baca ini bila kau telah usai dengan kenangan itu). Tentu saja ini bukanlah keputusan yang tiba-tiba tanpa diawali sebuah perenungan darimu. Dan entah bagaimana bentuk topeng yang kau kenakan di situasi semacam ini.

Tak ada satupun manusia yang menghendaki hidup dalam penderitaan. Meski demikian, manusia tak bisa lepas dari penderitaan dalam menjalani kehidupannya. Benar, tak ada orang yang sudi menderita, tapi pada kenyataannya semua orang mencari kepedihan dan pengorbanan, baru sesudah itu mereka mendapatkan pembenaran, merasa dirinya suci murni, pantas dihormati kekasihnya, anak-anaknya, suami dan tetangganya, dan dikasihi Tuhan.
Apakah seorang tentara terjun ke pertempuran untuk mebinasakan musuh-musuhnya? Tidak, dia pergi berperang untuk mati demi negaranya. Apakah seorang hamba beribadah demi pencapaian spritualnya? Tidak, ia menistakan dirinya demi sebentuk surga. Apakah si lelaki pergi kerja demi menemukan kepuasan dirinya? Tidak, dia memeras keringat dan air mata demi menyejahterakan keluarganya. Apakah si wanita/istri ingin menunjukkan betapa dia bahagia? Tidak, dia hanya ingin menunjukkan betapa sebagai perempuan dia sudah berbakti dan menderita demi membahagiakan lelakinya. Begitulah sejatinya; anak-anak yang rela melepas impiannya demi memuaskan ambisi orangtuanya, orangtua yang mengorbankan hidupnya demi membahagiakan keluarganya; pokoknya penderitaan dan kepedihan digunakan sebagai alasan untuk membenarkan sesuatu yang hanya mendatangkan kebahagiaan, yaitu cinta.
Cinta ialah pembebas; memerdekakan jiwa sang pencinta, membantunya meraih impian-impiannya, menjaga kehormatannya, cahaya bagi lorong gelap kehidupannya. Pikirkanlah, renungkanlah.

Jika sejak awal “cinta”mu adalah penderitaan dan kepedihan dari topeng yang kau kenakan; alasan-alasan bagi sebentuk kesenangan, mengerdilkan pribadimu, merenggut kebebasan jiwamu, menghambatmu meraih impian-impianmu, siap-siaplah menyesal. Itu bukanlah cinta. Ia hanyalah cinta semu, fatamorgana dari halusinasi nafsu yang dilapisi kesenangan-kesenangan sesaat. Parasit hitam yang menempel di hatimu. Lepaskan segera topeng itu. Tarik kembali pribadimu menuju kesadaran. Tampar dirimu sendiri biar sadar.

Kita tak mungkin mampu menghapus kenangan “cinta”. Apa yang dapat kita lakukan adalah mencoba melupakannya dan memaafkan diri atas semua itu. Kita mengharapkan kebahagiaan, justru yang kita ingat adalah kepedihan-kepedihan yang pernah kita alami. Kita menginginkan sesuatu, justru kita melakukan hal yang tak kita inginkan. Kita menangis justru saat seharusnya kita tertawa. Kita bukanlah tuan meski bagi diri kita sendiri. Oleh sebab itu, berbuat bajiklah. Itu dapat membantumu fokus pada masa depan; membuatmu berfikir, mengingat dan berlaku pada jalan kebajikan. Sehingga itu dapat menutupi kepedihan-kepedihanmu. Agar Tuhan memberkatimu dengan membuat lupa dirimu akan kepedihan-kepedihan itu dan membuat lupa orang-orang di sekitarmu atas keselahan-kesalahanmu di masa lalu.

Cintailah Cinta. Bermimpilah, yakini impian itu dan biarkan cinta membimbingmu meraih impian itu.

Kakap X, 28-04-09, 06:12 am
--doel

Dendam Semesta Keni Pangrango

Karya : Tamara Keni Jumat, 5 Maret 2010

Semesta Keni Pangrango. Darah daging jantanku, pertama. Irang, nama yang kerap digaungkan. Delapan belas tahun sudah Irang menghuni bumi. Tak lagi Dia merengek, menangis meraung-raung, apalagi meninggalkan jejak pesing di celana. Rambutnya lebat, semi gondrong dengan belahan di tengahnya yang tergerai lurus. Berbeda dengan mahkota yang kukenakan, bergelombang bak ombak di tepian pantai. Tajam matanya melebihi sorot liarku di masa muda. Tegas, tak mudah roboh. Raganya berotot, tegap berisi lagi tinggi. Kuning langsat, warna yang membalur tubuhnya.

Dia menyusuri jalan setapak yang tidak sepadan dengan lorong yang telah kuarungi. Aku dan Dia, Ayah dan anak berbenturan paradigma. Sastra, menu makan keseharianku; Ilmu pasti sudah jadi cemilan Irang. Waktu luang, aku habiskan membenamkan diri berkhayal dan berimajinasi. Sedangkan “game” adalah waktu senggangnya. Tembok, cat dan kuas kupilih sebagai teman bicara. Bagi Irang, Sungai, kail dan pancing jadi sahabat karib dalam keheningan semesta. Begitulah, Irama dan aliran musik ibunya telah mengendap erat, menyatu-melebur bersama dirinya.

Disuatu senja yang telah lalu, pernah Aku dibuatnya membusungkan dada dan menundukan kepala. Memang tak mudah bagi Irang untuk bertutur kata menyuguhkan gumpalan-gumpalan batin ataupun bening embun indrawi kepada binatang berakal, kecuali terhadap sosok ibu dan aku, ayahnya. Dia mengisahkan, bagaimana tak sedikit di antara kaum hawa yang jatuh bangun meraih simpatinya. Tak kuungkiri, paras Irang membawai Gen Estetika dari istriku. Dia memiliki kharismatik yang mengundang decak kagum sekaligus menautkan virus “ sindroma pink” kepada wanita lekat, lekat dan lekat.

Acap kali, Bercorak –corak Bidara bertandang ke rumah. Telah siap dengan sekelumit alasan sebagai alat perisai. Kurang lebih; pinjam catatan, menanyakan tugas sekolah, menawarkan kue basah buatan tangan, hingga menumpang buang tahi di WC. Cuek, Anakku menanggapi sekedarnya. Topeng “sumringah” tak kan lupa dia pasang, sedikit bicara, enggan bertanya, dan cukuplah lima menit untuk bersua. Jika pesan-pesan pendek para bidara masuk, jari-jari Irang terantuk. Belaka, bunyi nada panggilan hanya angin lalu.

Dia berujar kepada Alam dan ayahnya bahwa dirinya tengah membalaskan dendam seseorang, dari fana hingga maya. Seseorang yang Dia maksud, itu Aku. Segenggam penasaran mulai muncul ke permukan. Tapi takkan kutanyakan mengapa? Bagaimana kau dapati itu aku?. Biarlah, keberanian yang akan membujukmu menghapuskan keabstrakan.

Sore beranjak kelam, Aku menyebutnya malam. Semberit angin berkeliaran di atap-atap rumah, gedung, juga pohon. Bercengkerama di sela pergantian waktu. Melengking tinggi, daun-daun bergesekan melantunkan bisik dawai di awal petang bercahayakan rembulan. Begitu, saat suasana yang mengiringi Irang menguraikan tela’ahnya untukku, kali ini tanpa telinga dan bibir ibunya. Hanya Aku dan Dia, Ayah dan anak.

Bersambung…..

Rabu, 03 Maret 2010

Jerit Sahabat

Begitu judul syair lagu milik Bang Ebiet G Ade, salah seorang penyanyi yang amat kukagumi,
Begini bunyi beberapa penggal syairnya;
Ayah, dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita

Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Syair yang mungkin akan memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap yang mendengarnya. Dan begitupun denganku, manusia kecil ini. Dahulu, deretan kata itu hanyalah syair biasa yang berarti tak lebih dari sebuah karya milik Bang Ebiet. Namun kini, syair itu menjelma menjadi serentetan alunan yang amat sarat makna pribadi, yang tiba-tiba saja mampu membuatku terdiam bermenit-menit, mengulang-ngulang lagu itu, meresapi, dan kemudian merasa ada sesuatu yang merembes keluar dari palung hatiku. Ya, syair itu membuat hatiku bercucuran air mata.

Mungkin engkau bertanya-tanya mengapa aku bisa demikian? Tentu harus ada alasan realistis dan masuk akal yang dapat menjelaskan mengapa aku begitu suka rela mengulang-ngulang menyetel lagu Bang Ebiet itu di music playerku. Sayangnya, aku sendiri tak tahu, apakah alasanku cukup memenuhi standar realistis, karena alasan yang kumiliki hanyalah; lagu itu seperti seorang kawan yang setia menemaniku. Ia amat loyal dan pengertian.
Syair-syair lagu Bang Ebiet layaknya kawan yang rela menerimaku bersandar di pangkuannya, dan tanpa berlama-lama...aku mampu berkeluh kesah tentang segala kerinduan.
Lewat lagu itu, aku seolah bersua dengan Bapakku, orang yang satu bulan lalu pergi menemuiNya, terpaksa meninggalkanku dan semua yang mencintainya,
Lewat lagu itu, aku seperti memeluk Bapakku, yang seumur-umur, aku jarang sekali memeluknya kecuali ketika aku berumur lima tahun, ketika ia menaikkanku di pangkuannya atau ketika ia mengangkat tubuh mungilku untuk dimainkan bak pesawat terbang,
Lewat lagu itu, aku layaknya mendapat satu manuskrip tebal berisi perjuangan hidup Bapakku, yang aku tahu amat berarti, karena ia adalah lelaki paling bersemangat dan paling tulus yang pernah kutemui,

Lewat lagu itu, aku bak melihat siluet wajah Bapakku, yang masih lekat jelas hingga kini di memori otakku, wajahnya yang agak hitam, dengan kumis tipis jarang-jarang, mata hitam agak sipit, hidung besar, dan bibir yang bila tersenyum akan terlihat ceria dan merekah,
Lewat lagu itu, aku tak pelak menyaksikan bagaimana rupa-rupa Bapakku dahulu, ketika dahulu rupa-rupa itu tak begitu penting, namun sekarang menjadi amat berharga menjadi semacam harta karun di sistem memoriku,

Rupa-rupa kejenakaan Bapakku ketika ia melucu, rupa keangkeran ketika Bapakku marah dan kecewa, juga rupa Bapakku ketika ia bahagia, sedih, dan bangga.
Jika ia sedang melucu, hidungnya akan mengkerut, jika ia tengah marah, dahinya akan berlipat dan matanya akan menyempit, jika ia kecewa, wajahnya akan kendur, jika ia bahagia, bibirnya akan merekah sepanjang hari, jika ia sedih, matanya akan terpejam sesaat, dan jika ia bangga, hidungnya akan merekah sama lebarnya dengan bibirnya.
Lewat lagu itu aku dapat menitipkan rinduku untuk Bapakku, rindu biasa selayaknya milik anak perempuan kecil yang pergi ke pasar berdua dengan Bapaknya, lalu tersasar dan terpisah dengan Bapaknya tadi. Rindu ingin bersua kembali, dan meminta agar Bapaknya itu tak lagi meninggalkannya jauh-jauh.--bieq